Loading dulu yah..orang sabar disayang Allah sob :)

Jaringan Islam Liberal dan Respon Ummat




PENDAHULUAN
Dengan nama Allah, Tuhan pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan Segala Agama. Seperti itulah basmalah versi Jaringan Islam Liberal (JIL) yang akan menyambut anda ketika membuka situs islamlib.com, markas maya mereka. Dari kaliamt sambutan itu saja kita sudah bisa mengetahui warna pemikiran pengelola situs tersebut. Sangat terasa bau pluralism agama ajaran Firtchof Schuon, dan memang itulah salah satu wacana utama mereka.
Bermula dari mailng list di situs yahoo.com, Jaringan Islam Liberal adalah  wadah bagi beberapa cendekiawan muda Islam yang mengklaim diri berpikiran progresif, mereka mengaprersiasi pemikiran tokoh-tokoh semacam Cak Nur dan Gus Dur bahkan dalam beberapa hal mereka melangkah lebih jauh. Hal ini  diungkapakan oleh KH. Salahuddin Wahid, menurut beliau JIL lebih liberal dari Cak Nur.[1] Mereka pertama kali terbentuk pada 8 Maret 2001, sejak saat itu hingga kini mereka tetap aktif mengkampanyekan pemikiran-pemikiran mereka ke tengah-tengah ummat Islam Indonesia.
Pada awal pembentukannya, memang nama JIL kurang menggaung karena mereka membatasi diskusi-diskusi di mailing list dan radio semata. Namun lambat laun nama JIL beserta tokoh-tokohnya yakni Ulil Abshar Abdalla sang coordinator, Luthfi Asy-Syaukanie, Nong Darol Mahamada,  Hamid Basyaib dan kawan-kawannya menjadi tenar dan santer dibicarakan ummat Islam Indonesia. Beragam respon kemudian bermunculan, ada yang pro namun mayoritas ummat Islam bersikap kontra terhadap mereka.
Dalam makalah ringkas nan sederhana ini, kami akan mencoba mendiskusikan beberapa tema seputar Jaringan Islam Liberal atau yang akrab disebut JIL. Pembahasan dimulai dari pemikiran liberal di dunia Islam khususnya kawasan Timur Tengah , kemudian mengerucut ke Indonesia. Setelah itu, dengan sumber situs resmi mereka yakni islamlib.com kami akan mengetengahkan gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan. Kemudia terakhir akan dibahas respon ummat Islam Indonesia terhadap isu-isu pemikiran yang dilontarkan JIL.

PENGERTIAN ISLAM LIBERAL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata liberal berarti 1) bersifat bebas, 2) berpandangan bebas luas dan terbuka[2]. Jika dilihat dalam Kamus Dewan kata liberal memilki makna “1. (bersifat) condong kepada kebebasan dan pemerintahan yang demokratik (misalnya menentang hak-hak keistimewaan kaum bangsawan), (fahaman) bebas. 2. bersifat atau berpandangan bebas, berpandangan terbuka (tidak terkungkung kepada sesuatu aliran atau sautu pemikiran[3].
Merujuk pada pengertian dari kedua kamus di atas, Hafidz Firdaus Abdullah berpendapat bahwa agama Islam memang telah liberal sejak awal, dalam pengertian membebaskan manusia dari belenggu penyembahan sesama makhluk, bahkan juga membebaskan manusia dari penindasan, kezaliman dan penghinaan sesama manusia. Islam juga memiliki dasar yang terbuka terhadap peradaban manusia selama ia tidak melibatkan syirik yang menyekutukan Allah, perbuatan yang menyalahi syari‘at-Nya dan kepercayaan kurafat yang merendahkan kedudukan manusia hingga ke taraf kebinatangan.[4]
Namun sepertinya bukan liberal dalam pngertian di atas yang diinginkan oleh para aktivis Jaringan Islam Liberal, agaknya mereka menghendaki pengertian seperti ungkapan Owen Chadwik bahwa kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint)[5]. Hal itu tercermin dari salah satu semboyan mereka bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dalam segala bidang agama, dengan pandangan seperti itu wajarlah jika kemudia mereka melakukan “ijtihad-ijtihad” dalam lapangan akidah yang nash-nashnya sudah qat’i.  
Padahal menurut Adian Husaini  dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”[6] .  
Jika merujuk pada pemaknaan Islam Liberal menurut Jaringan Islam Liberal sendiri, maka Islam Liberal dimaknai sebagai salah satu bentuk penafsiran atas Islam yang menekankan pada kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosio-politik yang menindas. Menurut mereka Islam ditafsirkan berdasarkan kebutuhan penafsirnya, maka mereka menafsirkan Islam dengan cara tersebut sesuai dengan cita-cita dan idealism mereka[7].
PEMIKIRAN LIBERAL DI DUNIA ISLAM
Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxford’s Middle East Centre. Ia banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Ketika menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939, ia menegaskan, dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian tenggelam dan mengalami pertempuran sengit yang tak selesai-selesai sampai sekarang.
Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, menurutnya, didorong pertama kali pada tahun 1798. Tahun ini adalah tahun ketika pasukan Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orang-orang Arab. Bagi mereka, ketiga pilar itu penting untuk kehidupan manusia.
Dalam semangat seperti itu, para pemikir muslim dan non-muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas. Mereka tidak merasa khawatir untuk berlomba-lomba mengekspresikan secara bebas pemahaman mereka terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana liberal silih berganti memenuhi tahun-tahun itu. Meski beberapa tokoh pemikir di antara mereka dikafirkan oleh tokoh-tokoh agama waktu itu, semangat kebebasan berpikir liberal tidak surut di antara mereka.
Era liberal seperti itu baru berakhir pada 1939. Selama rentang 1798 – 1939, era itu dihuni oleh tiga generasi pemikir. Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran-pemikiran pada 1830 – 1870. Mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan “Mengapa dunia Barat maju?” dan “Mengapa pula dunia Arab dan Islam mundur?”. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawab. Di antara mereka yang terkenal adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ Ath-Thahthawi (1801 – 1873), Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825 (?) – 1889), Faris Asy-Syidyaq (1804 – 1887) dan Butrus Al-Bustani (1819 – 1883).
Generasi kedua muncul pada rentang 1870 – 1900. Mereka mulai muncul dengan beberapa wacana yang lebih berani. Soal ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan oleh generasi ini. Mereka juga memikirkan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu inilah, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839 – 1897), Muhammad Abduh (1848 – 1905), dan Qasim Amini (1865 – 1908).
Generasi ketiga merentang pada 1900 – 1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era itu. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam (Apakah kekhalifahan Islam perlu bagi masyarakat Arab dan Islam?) adalah yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara mereka. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana-wacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental; mereka mulai meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di antara tokoh-tokoh pemikir pada generasi ketiga adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935), Ali Abdurraziq (1888-1966), dan Thaha Husain (1889 – 1973).
Akhir generasi ketiga era liberal itu bukan berarti matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan juga negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah-tengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967.
Yang jelas, setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran mereka menyebar ke negara-negara Islam seperti Indonesia. Tulisan-tulisan mereka dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung.[8]
PEMIKIRAN LIBERAL DI INDONESIA
Pada decade 1938/40-an ummat islam Indonesia menyaksikan perang pena yang sengit antara Ir. Soekarno dengan dua tokoh yang terkenal sebagai pembela islam yakni M. Natsir dan A. Hasan[9]. Ketika itu Ir. Soekarno menulis beberapa artikel di majalah Panji Islam. Artikel-artikel beliau yang antara lain berjudul “Memudakan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama Dari Negara” dan lain-lain itu  mengusung ide-ide sekularisme, salah satu wacana utama kaum islam liberal. Tulisan-tulisan itu kemudian ditangkis oleh A. Hassan dan M. Natsir yang kemudian dimuat di majalah yang sama.[10] Setidaknya hal itu bisa dianggap sebagai polemic liberalism Islam yang awal di Indonesia.
Wacana itu kembali menguat pada tahun 1970-an melalui gagasan-gagasan yang disampaikan beberapa tokoh yaitu Noerchalis Madjid dan Prof. DR. Harun Nasution, serta beberapa tokoh-tokoh lain yang mendukung gagasan tersebut, sebut saja nama-nama seprti K.H. Abdurrahman Wachid (Tokoh NU), Ahmad Wahib (Orang HMI yang diasuh oleh beberapa pendeta nashrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Katolik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Rasulullah SAW.), Djohan Efendi (Orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Yogyakarta)[11].
Dalam buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya karya Harun Nasution yang dijadikan pegangan wajib bagi mahasiswa IAIN seluruh Indonesia, alumni Mc Gill Universitiy Kanada ini mulai – meminjam istilah Adian Husaini - “menyerempet-nyerempet” ke persamaan agama[12].  Pada Bab I buku tersebut ia menytakan bahwa ketiga agama samawi yakni Yahudi, Kristen dan Islam berasal dari satu asal, namun beliau tidak menyebutkan penyelewengan-penelewengan yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.[13] Beliau memang sempat menyinggung bahwa tauhid Kristen telah tercemari trinitas, namun yang menjebak, beliau justru menyatakan bahwa agama Yahudi masih konsisten pada tauhid sebagaimana Islam[14].
Sedangakn Nurchalis Madjid menyebarkan ide-ide kontroversialnya melalui lembaga Paramadina yang ia pimpin, baik melalui kajian-kajian maupun melalui buku-buku terbitan Paramadina[15].  Tonggak dimulainya pemikiran liberal Nurchalis Madjid yang sebelumnya sangat anti Barat dan dijuluki Natsir Muda adalah ketika ia kembali dari program penelitiannya di AS lalu berpidato di acara halal bi halal 3 Januari 1970 yang dihadiri aktivis-aktivis muda penerus Masyumi dari lingkungan PII, GPI, HMI, dan Persami[16]. Pidatonya  itu berasal dari makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”. Pendiriannya kemudian semakin diperkokoh melalui pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 21 Oktober 1992 berjudul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. [17]
Setelah periode ini, tidak muncul lagi pemikir-pemikir Islam Liberal baru, sehingga perseteruan seolah mereda sejenak. Namun sejak 2001 muncullah generasi berikutnya yang dimotori oleh Ulil Abshar-Abdalla dan beberapa pemikir muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal.

MUNCULNYA JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Berdirinya Jaringan Islam Liberal secara lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com pada kurun waktu awal milenium. Kala itu masih belum banyak pengikut dari milis ini, mengingat teknologi internet yang saat itu masih relatif baru dan belum populernya imej milis sebagai jejaring sosial di kalangan masyarakat.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk disatukan dalam milis ini. Mereka masih bercerai berai pada milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian di beberapa kalangan.
Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar Liberalisasi Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi oleh Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an. Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Yogyakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi,  yang aktif terlibat isu Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi titik penting  kelahiran JIL. Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu dan masih berlanjut hingga kini.   Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan essai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.
Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi mahasiswa S1 kala itu.
Menurut Budi Handrianto, dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), selain nama-nama di atas ada tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.
Kembali ke masasalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat. Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi aktivis-aktivis Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Yogyakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada 8 Maret 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).[18]
Tokoh-tokoh muda yang saat itu menjadi pengelola JIL antara lain Luthfi Asysyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU ketika itu), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam)[19]. Suatu hal yang menarik bahwa ketiga tokoh ini berasal dari akar NU, yang selama ini dianggap sebagai gerakan Islam tradisionalist. Bahkan ketiganya adalah jebolan pesantren ternama, Ulil mialnya adalah alumni Madrasah Mathali’ul Falah Pati, bahkan sempat kuliah di LIPIA. Ahmad Sahal pernah menjadi juara pembacaan kitab kuning di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana Ulil, dia juga alumni pesantren yakni Madrasah Futuhiyah Demak.
Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan non-muslim. Mereka memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan buku-buku, pengadaan website islamlib.com adalah beberapa kegiatan pokok yang kerap dilakukan. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa.[20]
TUJUAN, LANDASAN PEMIKIRAN, SERTA MISI JIL
Tujuan utama JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu JIL memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. Jaringan Islam Liberal adalah wadah yang longgar atau luas untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.  Berikut ini akan dipaparkan prinsip-prinsip manhaj Jaringan Islam Liberal dalam memahami Islam yang dikutip dari situs resmi mereka.
Pengembangan pemikiran JIL ini tidak luput dari sinyal-sinyal keadaan sekitarya, sehingga melahirkan ide untuk menggagas landasan baru bagi manusia dan menggiringnya kearah pola berpikir Gerakan liberal. Meskipun demikian, perangkat-perangkat JIL untuk kiat-kiatnya yang selaras dengan upaya mengganti islam dulu dengan islam kekinian atau islam moderen, sambil mensosialisasikan diri, bahwa JIL adalah gagasan kebangsaan dengan pluralism nilai dari agama-agama. Namun tidak persis sebuah universialisasi, oleh sebab cedrung miring, lebih fenominal dan monolog, menyoroti Islam sebagai tema retorikanya.Menjelelajahi alam JIL itu seperti apa, itu tertuang dalam landasan pacunya sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal. (isnlamlibral.com)
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.    Islam liberal meyakin bahwa urusan beragama dan atau tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islamliberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus[21].
Misi Jaringan Islam Liberal ;Pertama : mengembangkan penafsiran yang liberal sesuai dengan yang kami (JIL-pen) anut dan menyebarkannya kepada seluas-luasnya khalayak. Kedua : mengusahakan terbukanya dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga ; mengupayakan terciptanya struktur social dan politik yang adil dan manusiawi.
Dengan manhaj di atas dari para cendikiawan muda Jaringan Islam Liberal kemudian lahir produk-produk pemikiran yang berbeda jauh dari pemahaman Islam main stream. Meskipun menurut Adian Husaini dalam salah satu makalahnya, sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru dari gagasan-gagasan lontaran JIL, kesemuanya merupakan ide-ide para orientalis ataupun murid-murid mereka seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan sebangsanya[22].
Isu-isu pemikiran keislaman  mereka yang kemudian menuai kontroversi dari ummat Islam karena tidak jarang menerjang batasan-batasan yang telah disepakati oleh ulama-ulama, misalnya  pluralism agama, pernikahan dengan wanita kafir, penafsiran hermeneutika, bolehnya wanita jadi Imam dan khatib Jum’at, gugatan ataas otentitas mushaf utsmani, sekularisme, evolusi agama, dan lain sebagainya.
RESPON UMMAT ISLAM TERHADAP JIL
Sebagaiman telah disinggung di awal makalah ini bahwa sejak decade 1930-an telah ada perang pemikiran antara para pengusung ide-ide sekuler-liberal ke dalam tubuh ummat Islam yang diwakili Ir. Soekarno dengan tokoh-tokoh pembela Islam seperti Natsir dan  A. Hassan. Pada perkembangan selanjutnya, perseteruan itu dilanjutkan oleh generasi-generasi setelah mereka, namun dengan cakupan isu yang lebih luas dari sekedar secularism.
Setiap kali para tokoh liberalis Islam menyampaikan ide-ide mereka, maka akan mincul respon dari ummat Islam. Beberapa suara menunjukan persetujuan, misalnya tokoh semacam Goenawan Mohammad kolomnis senior yang begitu mendukung JIL. Namun suara mayoritas tetap saja menolak pendapat-pendapat yang dianggap telah jauh melenceng dari agama yang lurus.  Respon dari ummat Islam selain muncul dari perorangan, yakni para cendekiawan dan ulama yang tanggap atas penyesatan ummat, juga datang dari lembaga-lembaga serta ormas-ormas. Misalnya dari MUI dengna fatwanya yang mengharamkan faham Pluralisme agama, atau dari media-media pembela tauhid semisal Sabili, Suara Hidayatullah dan Tabligh dari lingkungan Muhammadiyah.
Jika pada masa Ir. Soekarno ada Natsir dan A. Hassan, maka pada masa Harun Nasution dan Nurchalis Madjid, kita mengenal tokoh-tokoh cendekiawan ulama Islam yang bangkit menantang mereka. Kesesatan tersirat dalam buku Harun Nasution yang dijadikan pegangan di seluruh IAIN se-Indonesia segera mendapat kritikan tajam dari Prof. H.M. Rasyidi, tokoh kharismatik dengan ilmu mendalam yang rumahnya menjadi tempat tinggal Harun Nasution selama studi di Mc Gill University Kanada. Untuk menolak pendapat-pendapat menyimpang Harun Nasution, ulama yang pernah membantah Prof. Joseph Schacht[23] di kelasnya semasa di Mc Gill ini menulis sebuah buku berjudul “Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut beliau tulis setelah laporannya kepada Depag tidak dihiraukan.[24] 
Adapun gagasan-gagasan sekularisme Nurchalis Madjid mendapatkan koreksi ilmiyah dari Dr. Daud Rasyid melalui bukunya berjudul “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan”.[25].  Selain itu sebuah jawaban bernas atas gagasan sekularisme diberikan oleh Prof. Syed M. Naquib al-Attas seorang ulama internasional kelahiran Bogor yang menjadi kolega Ismail Raji al-Faruqi dalam proyek Islamization of knowledge melalui bukunya “Islam and Secularism”.
Ketika gengerasi berikutnya dari kaum liberal naik panggung dengan wadah JIL, maka dari garis Natsir juga bangkit generasi pembela Islam. Saat JIL masih berupa milis, beberapa cendekiawan muda penerus Natsir telah terlibat diskusi sengit dengan mereka. Adnin Armas, misalnya, seorang mahasiswa al-Attas di ISTAC aktif mengoreksi gagasan mereka melalui diskusi online di milis islamliberal@yahoo.groups.com.[26] Selain Adnin, ada nama-nama seperti Adian Husaini yang aktif menulis buku-buku tentang bahaya SEPILIS, Hamid Fahmi Zarkasyi, Ugi Sugiharto, Asep Sobari pakar sejarah muda lulusan Madinah, Ahmad Zain an-Najah pakar syari’ah dari akar Muhammadiyah, Hartono A. Jaiz dan beberapa rekan mereka.
Kini, kebanyakan mereka berkumpul di sebuah wadah semacam JIL yang  muncul dengan misi yang bertolak belakang dengan JIL yakni melawan arus liberalism, wadah tersebut bernama INSIST (Institute of the Study of Islamic Thought and Civilization) dengan markas maya berlamat di insistent.com.
PENUTUP
Kehadiran Jaringan Islam Liberal membawa warna tersendiri bagi corak pemikiran Islam di Indonesia. Jika dulu kita hanya mengelompokan ummat Islam Indonesia menjadi modernis dan tradisionalis merujuk pada dua ormas raksasa NU dan Muhammadiyah, maka sekarang telah muncul kelompok liberal dengan wadah kecil namun bertaring tajam bernama JIL.  Tidak diragukan lagi bahwa mereka sangat terpengaruh oleh gagsan-gagasan para orientalis maupun kaum liberal Arab tentang Islam, jadi dalam menyikapi  aksi maupun pemikiran-pemikiran yang mereka tawarkan kita harus kritis, tidak menelan mentah-mentah namun juga tidak serta merta menolaknya. Bagaimanapun kehadiran mereka juga memiliki sisi positif yakni ummat Islam Indonesia menjadi tersentak, bangun dari tidur siang intelektualnya dan mulai aktif memikirkan jawaban-jawaban atas pukulan JIL terhadap konsep-konsep baku agama Islam.
.  Wallahu a’lam bisshawa






DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, Jakarta, 2003.
Husaini, Adian, Nuim, Islam Liberal ; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2004.
Natsir, Mohammad, Capita Selecta, Jakarga : Bulan Bintang, 1955.

Artikel dan Makalah :
“Membongkar Aliran Islam Liberal” oleh Hafiz Firdaus Abdullah
“Bahaya Islam LIberal” oleh Hartono Ahmad Jaiz.
“Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru” oleh Adian Husaini.

Website :
http//:www.islamlib.com
http//:www.kompasiana.com
http//;www.suyuk.blogspot.com
http//:www.inpasonline.com
http//:www.eramuslim.com

 

[1] Sabili, no. 15, th. IX/25 Januari 2002.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia offline Versi 1.3.
[3] Hafidz Firdaus Abdullah, Membongkar Islam Liberal, (Johor Baru : Perniagaan Jahabesa, 2007), hal 9.
[4] Ibid, 10
[5] Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006)
[6] Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 2.

[7] Jaringan Islam Liberal “Tentang JIL” dari http//;www.islamlib.com/tentang-jil.html. Diakses pada 20/12/2011.
[8] http://www.kompasiana.com/channel/humaniora. Diakses pada 18/12/2011.
[9] M.Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal 429.
[10] Ibid, 430
[11] Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal 55.
[12] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, 27.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] ibid
[16] Ibid, 30.
[17] Ibid, 31.
[18] http://www.facebook.com/pages/Film-Tanda-Tanya-Hanung-Sesat-Menyesatkan/190542514321958, Diakses 20/12/2011.

[19] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, 5.
[20] http://www.kompasiana.com/channel/humaniora. Diakses pada 18/12/2011.
[21] Jaringan Islam Liberal, “Tentang JIL”, http//:www.islamlib.com/tentang-jil.html. Diakses pada 20/12/2011.
[22] Adian Husaini, “Heremneutika dan Fenomena Taklid Baru”. Makalah dipublikasikan di situs insistent.com dalam bentuk soft copy.
[23] Josep Schacht adalah orientalis yang mengajarkan bahwa Muhammad Saw tidak pernah mendirikan Negara melainkan hanya membina ummat. Sebuah pendapat yang ironisnya banyak diulang-ulang oleh pemuda Islam yang menderita inferior complex.
[24] Dwi Budiman “HM. Rasyidi, Pembendung Sipilis”, dari http//:inpsonline.com/index.php?option=com.content&.,... diakses pada 20/12/2011.
[25] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal...hal, 47.
[26] Sanggahan-sanggahannya terhadap JIL di milis islam liberal kemudian dibukukan berudul “Pengaruh Kristen-Oreintalis terhadap Islam Liberal”, diterbitkan Gema Insani Press.

Masukkan alamat email kamu disini:

Posting Keren Lainnya : Bloggeron

0 komentar:

:f :D :x B-) b-( :@ x( :? ;;) :-B :| :)) :(( =(( :s :-j :-p :-o :-g :-x

Posting Komentar

Daftar Isi Blog-Ku

Diberdayakan oleh Blogger.

Inilah Aku..

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
mengejar impian sederhana menjadi pecinta semesta terus berusaha menjadi manusia, maklumlah, saya ini separh tanah separuh ruh tuhan menonton dunia dari pojok sejarah
ayubmenulis.blogspot.com

Sering Dibaca

Ayo Berteman