Loading dulu yah..orang sabar disayang Allah sob :)

SUATU MALAM DI ATAS RANJANG ISTRIKU


Aku telah sampai di batas antara nyata dan mimpi ketika sesuara itu terdengar. Awalnya aku kira suara berupa isakan itu berasal dari alam mimpi, ternyata salah total, istriku memang sedang menangis. Dapat kurasakan badannya yang terguncang  oleh tangis yang ia tahan agar anak kami yang tengah pulas tidak terbangun karenanya.
Segera saja kantuk yang tadi menggelayuti kelopak mataku sirna tak bersisa, digantikan heran dan berikutnya rasa iba lalu sayang berebut memenuhi tabula rasaku. Ada apa ini?. Terakhir kali ia menangis bertahun lalu, ketika ketidak pastian ketentuan Tuhan mengusik kami dengan ragu. Ragu apakah kami memang bisa menyatu. Tapi kini semua telah tercapai, nyaris sempurna. Jadi apa yang membuatnya sesedih ini?. Tak ingin berdebat dengan penasaranku terlalu lama, ia lalu kurangkul. Rambutnya kubelai.
“Dik, kamu menangis?, ada apa?”
Ia memandangku, dan keheranan kedua menamparku. Kantuk benar-benar tandas. Tatapan itu bukan tatapan meminta perlidungan seperti biasanya ketika ia sedih, bukan pula cinta dan sama sekali tidak tampak seperti tatapan sayang. itu adalah tatapan marah, penuh tanya dan curiga. Aku bergidik, ada apa ini?. 
“Mmm ada yang salah?, kamu marah ya ?,”
Pelukanku dilepasnya dengan kasar.
“Abi, katakana dengan jujur, seperti yang Abi  selalu ajarkan pada Kashva dan jamaah pengajian,…”
Perkataannya diputus tangis, dan aku mulai diserang gelisah bukan main. Kejujuran? Mengapa pembahasan yang paling sering aku kaji di pengajian Ahad pagi, juga didikan utamaku pada Kashva anak kami disebut sebut di sini?.  Jangan-jangan… ah adegan-adegan buruk mulai melintas dalam pikiranku. Ya Allah , semga bukan itu. Aku hanya diam, menunggu semuanya menjadi lebih jelas.
“katakana siapa si Sweet Mochi? Hah? Siapa dia Abi?”
Cecarnya sambil tetap menahan suaranya agar tidak terdengar kecuali oleh kami berdua.
“s..sss.. Sweet Mochi??”
Aku mulai bisa membaca arah pembicaraan ini dan  sebab tangisnya malam ini. Kesadaran itu membuat kepalaku serasa dipukul godam berduri dari kerak neraka. Cemas membuatku gugup bahkan tidak bisa berbicara lagi.  Aku tidak suka keadaaan ini, maka aku mencoba mencairkannya, semoga hanya salah paham.
“Sweet Mochi kan mochi manis, itu makanan favoritku hehe.. eh tau nggak waktu di PUTM setiap mas Agus temanku yang dari Sukabumi itu mudik, Abi slalu pesan mochi lho wow uenak banged ”
Cerita murahan itu aku tuttup dengan tawa yang sangat garing. Aku bahkan jadi malu sendiri melihat keadaanku yang menyedihkan dan payah malam ini. Mencoba mengelak dengan membuka pembicaraan tidak bermutu seperti itu. Kemana kemampuan retorikaku?, lari kemana keterampilanku mengolah kata?.
Mendengar aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan cara yang tragis, tatapan istriku semakin tajam. Akh godam berduri dari kerak neraka itu kini bertambah besar sepuluh kali lipat kemudian dihantamkan tepat ke ubun-ubunku.
“Aku tidak sedang bercanda Bi..”
Desisnya, isaknya kini memelan tapi air matanya malah semakin membanjir . Ia bangkit dari peraduan dengan kasar, berjalan cepat ke lemari dan kembali dengan menggenggam sesuatu. Telepon genggamku!.
“Iya Sweet Mochi, dan apa maksud sms-sms ini ustad Ayub ?”
Ia menyodorkan telepon genggam itu, kotak pesannya terbuka. Ah sail!, tadi pagi aku memang lupa membawanya. HP itu pasti tertinggal di meja makan. Istriku pasti menemukannya, tapi ia selalu menghargai privasiku, kenapa kini ia berani membuka-buka kotak pesanku?.
“Awalnya aku mau meliaht nomor-nomor telepon teman-teman dari HP Abi, tapi setelah melihat kontak dengan nama seperti itu aku jadi curiga Abi. Jadi aku periksa panggilan masuk dan keluar, ternyata… ”
Kembali ia terisak.
Sejatinya aku sedang berada di atas kasur empuk, berbalut selimut berbulu lembut yang nyaman. Namun keadaan ini membuatku panas dingin tidak karuan. Aku sesak karena tenggelam di palung laut ketakutan. Rasa bersalah mencabik-cabik habis hatiku. Aku menyerah, tidak mungkin lagi aku mengelak. Kubiarkan ia menyelesaikan semua, aku hanya akan diam. Ini akan serasa interogasi, tapi tak mengapa, apa lagi yang bisa kulakukan?. Kebohongan yang ditutupi dusta adalah lahan subur bagi tumbuhnya semak belukar kebohongan yang mengerikan.
“Abi..”, lanjutya, kini suaranya terdengar lebih pedih.
“Ketika aku lihat panggilan keluar untuk Sweet Mochi lebih banyak dari panggilan untuk yang lain, bahkan lebih banyak dari pada panggilan Abi ke nomor ayah dan ibu abi sendiri, aku jadi GR. Mungkin itu nama kontak untuk nomorku sendiri, mungkin itu adalah panggilan sayang untuku, begitu pikirku.”
“Tapi waktu aku mencoba membuka-buka kotak pesan, aku terkejut, semua pesan yang terkirim ke Sweet Mochi tidak pernah aku terima. Dan yang membuatku menangis hingga sekarang, semua pesan itu sangat mesra. Hanya pantas dikirim ke seorang istri. Balasan dari dia juga hanya pantas dikirim untuk seorang suami.”
Semuanya kini jelas bagiku, rumah tanggaku kini adalah telur di ujung tanduk kerbau gila. Dalam posisi siaga akhir. Aku berdoa dalam hati semoga malam ini perkara halal yang paling dibneci Allah tidak terjadi di kamar ini. Aku hanya menunduk dalam diam yang sungguh pahit menunggu semburan kemarahan berikutnya, sementara isakan tertahan istriku terpantul-pantul di dinding kamar, merobek-robek hening. Air mataku juga perlahan menetes, satu. . .dua. . .lalu menderas. Padahal akhir malam biasanya kami lalui dengan tahajjud berjamaah, bahkan tadi aku masih sempat menyetel alaram untuk bangun malam, dan berniat membangunkan istriku dengan kecupan, tapi yang terjadi sekarang adalah sungguh membuatku malu pada Allah.
Ini semua salahku, bahkan jika sekarang istriku mengambil pisau lalu menikamku, atau agar lebih praktis lampu kamar itu ia pukulkan ke wajahku, aku rela dan sungguh rela menerimanya. Itu bahkan sama sekali bukan balasan setimpal, tidak ada balasan setimpal. 
“Mmaafkan Aku sayang… Abi khilaf.”
Aku tidak yakin apakan permintaan maafku ada artinya, karena aku sungguh sadar bahwa tidak akan semudah itu. Menghancurkan komitmen lalu menutupinya dengan sepotong kata maaf. Namun, aku sungguh terkejut dan bingung harus bereaksi bagaimana ketika istriku malah mendekat, duduk disampingku. Ia menarik nafas dalam-dalam, aku tahu, jika menarik nafas seperti itu ia sedang berusaha membuang sampah apapun yang memenuhi pikirannya.
“Siapa dia?”
Ia bertanya padaku tapi tatapannya lurus ke depan. Ke foto pernikahan kami.
“Sularni, umurnya 29 tahun dan belum menikah.”, aku menarik nafas berat untuk sebuah pengakuan. Sementara tangisku tidak dapat lagi kubendung, rasa bersalah ini, sesal ini, apa lagi yang aku punya?.
“Ia tinggal di Jogja. Ia sering datang ke pengajian yang Abi bimbing di sana, dia.. seirng curhat tentang apa saja.”
“Tapi percayalah dik, tidak sejauh yang kamu bayangkan, tidak terjadi apa-apa antara kami.”
Aku mencoba sedikit meringankan rasa bersalahku dengan membayangkan bahwa memang belum ada apa-apa yang sempat aku lakukan dengan perempuan itu. Perempuan yang sebenarnya bisa saja, bahkan sangat biasa dan tidak bisa dibandingkan dengan istriku, tapi rasa iba dan kepedulian yang tumbuh setiap curhatnya membuatku tertawan. Lalu aku yang mulai berani memanggilnya sayang, dan responnya yang sama. Aku rasa telah jatuh cinta lagi, tapi sungguh belum ada hal-hal buruk yang terjadi, setidaknya belum sempat terjadi.
Ketika aku mencoba mengangkat wajahku dan memberanikan diri menatap wajah istriku, aku tahu bahwa aku baru saja menghancurkan hatinya dengan perkataanku barusan. Memang bukan itu masalahnya, bahkan jatuh cinta saja sudah hal buruk baginya, bahkan lebih buruk dari apapun yang mungkin ia bayangkan tentang aku, suaminya yang shaleh, yang peduli, yang ibadahnya tekun, yang seorang ustadz, dan yang telah menjadi ayah untuk anak yang mati-matian ia rawat.
“Sudah berapa lama bi..?”
“Duu dua tahunan, tapi. . .kami hanya bertemu di pengajian bulanan di sana, dan itupun hanya.. hanya sebatas, aahhh maaf, maafkan Abi dik, Abi khilaf sungguh.”
Istriku tidak bergeming dari posisinya tadi, duduk di sampingku dan menatap lurus ke foto pernikahan kami. Kembali ia menarik nafas panjang. Termenung sesaat kemudian berdiri. Aku menuggu apa yang ia katakan.
“Malam ini aku tidur di kamarnya Kashva.”
Katanya dingin, lalu berjalan ke luar kamar. Aku bisa mendengar dengan jelas, di luar tangis istriku kembali tumpah, sepanjang malam itu.
Aku tertunduk dalam

                                                                     *********
“Ustad, gimana?. Jadi ndak buka puasa di rumahku?”
Aku gelagapan, pertanyaan gadis di depanku membuyarkan lamunanku, lamunan yang panjang dan seram..
“Maaf yah Sweet moch… eh Sularni, Ustad udah bawa bekal dari rumah. Buatan uminya Kashva, mau cobain?  Enak lho”
Raut muka gadis itu langsung berubah. Ada kerut tidak suka di sana.
“Yo wis, kalau ndak mau, Aku pulang dulu, assalamualaikum”
Nada bicaranya penuh kesal. Tapi mendengarnya sungguh membuatku lega.  
Terinspirasi dari Tulisan Asma Nadia “Aku Tidak Mau Cemburu,” bagian dari bukunya “Catatan Hati Seorang Istri”

Nitikan, 14 Agustus 2011 M / 14 Ramadhan 1432 H.



 cat : gambar di atas adalah ilustrasi dari situs lain


Masukkan alamat email kamu disini:

Posting Keren Lainnya : Bloggeron

11 komentar:

Kaliandra mengatakan...

Pantesaaan. Pas baca-baca di paragraf awal berasa pernah baca dimana nih kisah. Catatan hati seorang istri...

Ummm... EYD masih ada yang perlu diperbaiki. Trus saran aja nih, per bagiannya dikasih tanda pemisah maksud saya kalo mau mulai part baru biar pembaca tau kalo udah ganti situasi.
Trus, konfliknya ditajemin lagi *piso kalee

Demikianlah dari saya yang gak bermaksud sok tau B-)

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 04.12
Anonim mengatakan...

:-g

bukan fiksi ya..
tp kejadian kayak gini sangat nyata ya..
:D

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 04.15
Ayub Almarhum mengatakan...

@Fila... hehe, tapi seingatku, bagian yang identik dgn tulisan mba Asma Nadia justru dialog akhirnya itu... :?
wah kurang tajam yaa, harusnya memang muka suaminya dihantam lampu tidur ahahaha :D

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 05.02
Ayub Almarhum mengatakan...

@ Anis, hehehe.. ini fiksi kok, cuma yaa terinspirasi kisah nyata,,,
tapi jangan sampai kejadian deh,, itu tokohnya kan aku.. hihihi :P

makasih yaa kunjungannyaa... jangan bosan yaa

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 05.04
Unknown mengatakan...

good, lanjutkan...
semakin banyak membaca dan menulis, semakin mantab pengalaman kita ...

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 16.40
Unknown mengatakan...

seperti status fbku, kadang-kadang jadi orang dewasa itu rumit.. apalagi kalo cowok.. dak ngerti cewek. aih,, inilah hidup..

semoga kelak jadi pemimpin yang baik buat istri.. aamiin.. >.<

[ Reply ] | 9 April 2012 pukul 21.45
Ayub Almarhum mengatakan...

@Mas Ridwan. ya ya.. smoga bisa lebih baik lagi, maksih yaa kunjungannya :)

@Roiddd... bahhh itumi susahnya jadi laki2, bikin :-X ahahah

[ Reply ] | 10 April 2012 pukul 01.13
Obat Herbal Migren (Sakit Kepala Sebelah ) mengatakan...

bagus gan
salam sukses selalu .....

[ Reply ] | 10 April 2012 pukul 17.50
Rahmania mengatakan...

Hehehe...
Usulku ji nah kak,klu mw menjdikan certa org sbg referensi Untk mmbuat crt sndiri,coba diedit sedemikian rupa jd org yg baca tidk sadr klu itu crta sudh pernh dibaca,,,

Wkt sy baca td sy sambil ketawa,sy kira selain mba Nadia,kak jg sdh meraskn hal yg sama,hehehe....
Tp kok mirip bgt. Tp ujung2nya terjadi pengakuan klu inspirasinya dari buku itu...
Tp boleh lah,semangat berjuang dengan tulisan2,smga bsa ters ditingkatkan !!!!
Semangat

[ Reply ] | 20 April 2012 pukul 08.59
Anonim mengatakan...

dek Rahmania.. pernah baca buku itu ? itu bukan pengalamannya Asma Nadia kalo nggak slah...

yahh makasih masukannya, .. :f

[ Reply ] | 21 April 2012 pukul 07.46
Unknown mengatakan...

Good

[ Reply ] | 25 Juni 2018 pukul 19.01
:f :D :x B-) b-( :@ x( :? ;;) :-B :| :)) :(( =(( :s :-j :-p :-o :-g :-x

Posting Komentar

Daftar Isi Blog-Ku

Diberdayakan oleh Blogger.

Inilah Aku..

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
mengejar impian sederhana menjadi pecinta semesta terus berusaha menjadi manusia, maklumlah, saya ini separh tanah separuh ruh tuhan menonton dunia dari pojok sejarah
ayubmenulis.blogspot.com

Sering Dibaca

Ayo Berteman