KRTIK ATAS KONSEP TA'DIB AL-ATTAS
Menyicipi
(dan Menjawab) Kritikan Atas Konsep Ta’dib Naquib Al-Attas[1]
Apakah
penyebab utama kemunduran ummat Islam?, dan langkah apa yang harus ditempuh
untuk membangkitkannya kembali?. Kedua pertanyaan ini telah menjadi kegelisahan
banyak ulama dan cendekiawan Islam. Sejak masa kebangkitan pasca-kolonial para
ulama dan cendekiawan telah berusaha mencari sebab kemunduran ummat Islam dan
berupaya merumuskan langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan kebangkitan
dunia Islam.
Beragam
jawaban dan gagasan ditawarkan, salah satunya adalah masalah pendidikan.
Beberapa cendekiawan Islam meyakini bahwa masalah utama ummat Islam adalah
masalah pendidikan, mereka lalu menawarkan gagasan mereka untuk membangkitkan
kembali ummat Islam dari keterpurkannya dengan jalan pendidikan. Salah satu
cendekiawan yang terkenal dalam hal ini adalah Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas.
Untuk
membaca atau katakanlah menyicipi konsep
ta’dib al-Attas ini, kami memakai karya Drs. Kemas Badaruddin, M.Ag yang
bersifat analitik kritis terhadap
pemikiran pendidikan al-Attas. Karya tersebut aslinya adalah hasil riset Kemas
untuk memenuhi tugas akhir pada program pasca sarjana di IAIN Ar-Raniri Banda
Aceh yang kemudian dibukukan . Riset ini
mencakup pembahasan pada tiga point.
1.
Reformulasi
konseptual filosofis yang dibuat oleh al-Attas berkaitan dengan konsep-konsep
seputar manusia, tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
2.
Esensi
gagasan al-Attas tentang ilmu, system dan tujuan pendidikan. Serta,
3.
Bagaimana aktualisasi konsep pendidikan yang dibgangun oleh al-Attas dalam konteks
rekonstruksi pendidikan Islam.
Konsep
mengenai hakikat manusia adalah bahasan penting dalam filsafat pendidikan
sehingga tentu saja al-Attas juga membahasnya. Dalam Islam hakikat manusia
setidaknya ada dua yakni sebagai abdun atau hamba yang wajib mengabdi
kepada Allah ta’ala dan khalifah fil ardi atau wakil-Nya dalam
memakmurkan Bumi. Maka seluruh system pendidikan harus diarahkan untuk
mendukung kedua hal tadi.
Mengenai
terma tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, gagasan al-Attas berbeda dari
kebanyakan cendikiawan Islam yang lebih memilih istilah tarbiyah untuk
pendidikan Islam. Bagi al-Attaas istilah yang paling tepat bagi pendidikan
Islam adalah ta’dib. Menurutnya istilah tarbiyah hanya
mementingkan kepada fisik material saja dan merupkan pengaruh hidup sekuler
lagipula istilah ini juga digunakan untuk makhluk selain manusia padahal
pendidikan Islam hanya diperuntukan bagi manusia. Adapun istilah ta’lim juga
kurang tepat karena hanya bermakna pengajaran sehingga lebih sempit. Menurut
al-Attas terma ta’dib telah mencakup seluruh aspek yang diperlukan dalam
pendidikan, dan factor utama yang harus ada dalam pendidikan Islam dan akan
menimbulkan bencana jika terlewatkan adalah factor adab.
Pilihannya
kepada istilah ta’dib yang lebih sufistik mungkin dipengaruhi definisi
al-Attas tentang pendidikan Islam. Di dalam buku ini dijelaskan pengertian
pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ; pengenalan dan pengalaman yang
secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri mausia, tenang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing
ke arah pengenalan dan pengakuat tempat Tuhan yang tepat (adil) di dalam
tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan Islam hanya diperuntukan bagi
manusia.
Berdasarkan
pengertian diataas maka al-Attas merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah
untuk menghasilkan manusia (individu) yang baik, bukan masyarakat yang baik
sebagaimana dalam peradaban Barat. Mereka adalah indiviud-individu yang
beradab, bijak, yang mengenali dan mengakui
segala tata tertib realitas segala sesuatu termasuk posisi Tuhan dalam
realitas tersebut. Sebagai hasilnya mereka akan selalu beramal sesuai kaidah
itu sendiri.
Al-Attas
memiliki gagasan tersendiri mengenai model universitas Islam dengan segala
sistemnya. Baginya suatu universitas haruslah merupakan pencerminan dari
seorang insan kamil yaitu Nabi Muhammad saw sendiri dalam hal
pengetahuan dan tindakan yang benar. Hasil dari universitas diharapkan seorang
individu tidak hanya memandang persoalan dengan kaca mata spesialisasinya saja
sehingga tampak parsial tetapi harus secara holistic. Setiap peserta didik
sedapat mungkin dikembangkan potensi bawaannya untuk mendekati sosok Nabi
Muhammad sebagai insan kamil yang mampu melihat dunia dengan worldview
Islam yang tidak parsial.
Dalam
universitas tersebut diajarkan dua macam ilmu menurut klasifikasi buatan
al-Attas sendiri yakni ilmu yang fardu ain dan fardu kifayah. Macam
pertama meliputu ilmu-ilmu agama sedangkan yang kedua adalah ilmu-ilmu capaian
manusia berupa ilmu humaniora, terapan, alam, dan teknologi.
Kritik
(dan Jawabanya) Atas Konsep Ta’dib
Bagian
yang menarik untuk dibahas dari buah pemikiran al-Attas yang dipaparkan dengan
kritis oleh penulisnya yakni Drs. Kemas Badaruddin, M.Ag, adalah gagasan Syed
Naquib al-Attas tentang pemakaian terma ta’dib dan bukannya tarbiyah atau
ta’lim bagi pendidikan Islam.
Gagasan
ini telah mendapatkan kritik antara lain dari Cak Nur, menurutnya gagsan
penggunaan terma ta’dib itu tidak ada landasannya. Badaruddin Kemas
sebagai penulis juga melancarkan kritik serupa yakni minimnya landasan
normative bagi terma ta’dib di dalam dua fundamen utama Islam yakni
al-Qur’an dan al-Hadist. Kemas lalu mengemukakan satu hadis yang bisa menjadi
acuan lalu menyatakan bahwa hadis itupun lemah. Hadis itu berbunyi :
ادبني
ربي فاحسن تادبي
Kemas juga menyatakan bahwa sejauh
pengamatannya terma tersebut hanya dipakai untuk pribadi Rasulullah sendiri.
Kritikan
Kemas di atas sebenarnya kurang tepat. Kritiknya yang pertama adalah lemahnya
hadis ini sehingga tidak legitimatif. Argument ini bisa kita kritik bahwa hadis
ini ternyata juga dijadikan hujjah oleh ulama dalam menjelaskan ketinggian
akhlak Rasulullah, bahkan Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsir al-Manar
memakainya dalam konteks pendidikan (Ridha, 1990 : 152). Jika memang hadis ini lemah tanpa syawahid
ataupun kebenaran makna tentu ulama tidak akan menggunakannya, tetapi menurut as-Sakhawi meskipun sanadnya munqati (terputus) karena di dalam sanadnya ada
seorang rawi yang tidak diketahui akan tetapi maknanya benar dan terdapat
beberapa syawahid untuk hadis tersebut. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar
hanya menghukuminya gharib berarti sebenarnya tidak terputus tetapi
dalam salah satu tingkatan periwyatannya (thabaqat) hadis ini hanya
diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Abul Fadhl an-Nashr bahkan menshahikhan
hadis ini (as-Syarbiniy, 2002 : 5).
Dari
penjelasan di atas disimpulkan bahwa hadis ini tetap bisa dijadikan landasan
bagi konsep ta’dib yang ditawarkan
al-Attas. Dengan demikian kritikan yang menyatakan bahwa konsep tersebut
tidak berdasar dalam Islam tidaklah tepat. Terlepas dari hal-hal lain yang
diperdebatkan mengenai penggunaan terma ta’dib.
Poin
kedua dari kritikan Kemas adalah kehususan terma ta’dib bagi pribadi
Rasulullah. Sepanjang pencarian kami, sebenarnya penggunaan ta’dib sebagai
terma pendidikan juga digunakan bagi orang-orang selain Rasulullah. Diantara hadis-hadis
yang menunukan hal itu antara lain :
عن أبي موسى الأشعريِّ رضيَ الله عنه قال:
قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: «إِذا أَدَّبَ الرجلُ أمَتَهُ فأحسنَ تأديبَها
Dari
Abi Musa Al Asy’ariy RA ia berkata,
Rasulullah saw pernah bersabda “jika seorang lelaki mendidik (ta’dib)budak
perempuannya lalu ia memperbaiki pendidikannya…. ”(HR.
Ibnu Hibban, No 3986).
هذا
أدَّبْتُهُ أُمُّهُ وأنْتَ أدَّبْتَكَ أمُّكَ
Dia
telah didik oleh ibunya dan kamu telah dididik oleh ibumu (HR.
Muslim, no 66).
Kedua hadis di atas
menunjukan bahwa penggunaan kata ta’dib tidak hanya dikhususkan kepada
Rasulullah saw saja, tetapi juga kepada pendidikan yang dilakukan kepada putra
(hadis 2) dan putrid (hadis 1) kaum muslimin. Jadi dengan sendirinya kritikan
yang kedua tadi menjadi gugur.
Tetap Kritis, Lalu
Maju. (Epilog)
Sebagai sebuah tawaran
pemikiran yang ditawarkan al-Attas, konsep ta’dib tentu saja belum final
dan menunggu sejumlah kriritkan yang membangun dari para cendikiawan Islam,
terutama mereka yang peduli pada maslah pendidikan. Diluar sana tentu banyak kritikan yang
ditujukan pada al-Attas dan konsep-konsepnya, namun karena keterbatasan kami,
jadi yang bisa kita diskusikan dalam tulisan ini hanya dua poin di atas.
Terakhir, tiada gading
yang tidak retak, bagaimanapun al-Attas adalah seorang manusia, sedangkan kita
semua telah mengenal kaidah dalam keilmuan Islam bahwa semua orang dapat
diterima dan ditolak pendapatnya kecuali Sang Nabi nan Maksum. Meskipun al-Attas
(dan murid-muridnya) telah membuat kita “bernafas lega” dan “tidak sesak nafas”
lagi gara-gara polusi pemikiran para bandit liberal pengekor Barat, kita tidak
boleh kehilangan daya kritis ketika membaca mereka,
Suatu hal yang terpenting adalah jangan pernah merasa
puas hanya dengan menjadi pembaca, penyebar, pengagum, apa lagi sekedar
pendengar-sepintas atas ide-ide mereka. Jadilah rekan mereka yang sejajar di
garis depan perang pemikiran!.
Tentu
saja sumber saya sumber primer… nih rincian bukunya …. J
Judul : Filsafat Pendidikan Islam ( Analisis
Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas).
Penulis : Drs.
Kemas Badaruddin, M.Ag.
Penerbit
/ Tahun Terbit : Pustaka Pelajar / Oktober
2009.
[1] Aslinya tulisan ini adalah review buku untuk tugas
kuliah hehe,,, tapi pas ada tema ta’dib di Seminarnya anak-anak PKU kemarin (yg
tidak saya ikuti) jadi relevan lagi untuk di-edit-publish kan.. dan
didiskusikan tentu saja… __El-Marhoum__
3 komentar:
Keren... emang sih,...kritik itu sah-sah aja meski tingkat pendidikan jauh berbeda,.. hehe
Ain yang berdakwah,.
ahaha bukan hanya jauh berbeda, tapi antara langit dan lunbang cacing di dasar sumur hehe :D
makasih atas infonya gan ...
salam sukses selalu
Posting Komentar