AGAMA DAN KEKERASAN
MENGAPA AGAMA SERING DIJADIKAN “AMUNISI” DAN “BENTENG” KEKERASAN, KETIDAK ADILAN, DAN KEZHALIMAN. ?
Agama Sebagai Kedok
Hampir setiap hari media menyuguhi kita fenomena kekerasn, ketidak adilan, dan kezhaliman yang ada pada aksi-aksi terorisme, peperangan yang kita saksikan di skala global misalnya perang Irak, Afghanistan, Palestina-Israel, prahara di negara-negara Afrika Timur, Mianmar dan lain sebagainya, ataupun yang berskala lokal seperti konflik Ambon, Poso, dan Aceh. Hal-hal tadi juga ada di ranah domestik seperti KDRT, atau penganiayaan pembantu. Tindakan seperti KKN yang telah mewabah hampir di setiap sendi pemerintahan jelas merupakan bagian dari ketidak adilan dan kezhaliman.
Kesemua fenomena ini tentu membuat siapa saja yang masih memiliki nurani terhenyak dan heran. Mengapa manusia bisa melakukan semua itu?. Dimana hati?, dimana kemanusiaan?, dan mungkin untuk kasus di Indonesia yang konon religius, kitapun bertanya-tanya, dimana agama?. Namun, kadang kita justru semakin heran ketika ternyata para pelaku yang kita kutuk tidak mengindahkan agama, justru berdalih bahwa mereka melakukan semua itu demi dan karena agama.
Agama, khususnya agama Islam kerap dibawa-bawa oleh mereka yang melakukan kekerasan, ketidak adilan maupun kezhaliman. Mereka mengklaim bahwa mereka melakukannya atas nama Allah. Kadang mereka bersembunyi dibalik simbol-simbol suci agama jika belangnya mulai nampak. Mislnya koruptor yang tiba-tiba menambahkan embel-embel haji pada namanya, ataupun mereka yang bersembunyi di balik nama suci institusi negara yang membidangi agama.
Parahnya, karena pengakuan mereka selalu diekspos media, diulang-ulang sedemikian rupa akhirnya publik menjadi seperti terhipnotis. Mereka akan segera mengaitkan agama khususnya Islam dengan tindakan kekerasan seperti terorisme bahkan jika pelakunya belum tertangkap.
Agama Dan Kekerasan, Ketidak Adilan, Kezhliman Dalam Lintasan Sejarah Dunia.
Jika kita menilik lebih jauh, melihat fenomena kekrasan, ketidak adilan serta kezhaliman yang terjadi sepanjang sejarah manusia hingga hari ini, sebenarnya tidak sepenuhnya tepat jika menuduh agama sebagai biang keroknya. Agama di sini baik secara umum maupun Islam secara khusus. Namun dalam hal ini mungkin kami akan membahasa lebih banyak agama Islam sebagai agama kita, dan agama yang sering difitnah sebagai agama terror.
Marilah kita melihat peristiwa kekerasan pertama yang ada di muka bumi ini, yaitu kisah Qabil dan Habil yang diabadikan Al-qur’an. Diceritakan bahwa Qabil membunuh saudaranya Habil karena dia iri padanya yang sukses dalam kegiatan ekonomin, yakni perkebunan. Rasa sakit hatinya bertambah ketika kurban Habil diterima dan menurut ketentuan Allah Habil berhak menikahi putri Adam yang tercantik[1].
Lihatlah, motif kekerasan, ketidak adilan dan kezhaliman dalam kasus anak Adam itu adalah ekonomi dan asmara. Motif ini akan terus menjadi penggerak kekerasan dalam sejarah manusisa selanjutnya. Lalu mengapa agama jadi dibawa-bawa?.
Peperangan besar yang dikenal sejarah berikutnya adalah peperangan-peperangan antara peradaban-peradaban di lembah Mesopotamia. Motifnya lagi-lagi ekonomi dan perebutan wilayah di sekitar lembah subur tersebut. Peperangan berikutnya yang juga besar dan selalu dikaitkan dengan agama adalah Perang Salib. Meski menurut Karen Armstrong dalam bukunya Holy War : The Crusades and Their Impact on Today’s World bahwa dalam kedua agama yang terlibat perang yakni Islam dan Kristen memang ada kecendrungan inheren pada kekerasan[2], namun dalam penjelasan berikutnya dalam buku tersebut disebutkan bahwa motif ekonomi dan kekuasaan juga dominan dalam perkembangan perang tersebut.
Selanjutnya adalah masa-masa kolonialisme ketika orang-orang serakah dari Eropa menyebar ke Asia, Afrika, Amerika serta Australia untuk melakukan penjajahan. Ketidak adilan, kekersan, serta kezhaliman terjadi dimana saja ada penjajahan. Ekspansi Eropa ini, menurut Bernard Lewis adalah ekspansi yang paling cacat moral dibandingkan dengan ekspansi bangsa-bangsa lain dalam sejarah. Semenjak abad ke 15 dan abad-abad setelahnya, hampir seluruh dunia menjadi objek penderitaan dan kekuasaan atau paling tidak terpengaruh oleh Eropa[3].
Motif para penjajah jelas tidak jauh-jauh dari ekonomi meskipun mereka juga membawa misi penyebaran agama Kristen, bahkan faktor ekonomi adalah fazktor utama[4]. Dalam hal ini terlihat bahwa meskipun agama menjadi motif kekerasan, kezhaliman, dan ketidak adilan, agama tidak pernah sendirian. Selalu ada motifasi lain dan motif lain itulah yang menjadi penggerak utama.
Tragedi kemanusiaan berikutnya yang tidak mungkin kita lewatkan di sini adalah Perang Dunia I dan II. Pada kedau perang ini, gelombang kekerasan, ketidak adilan dan kezhaliman melanda seluruh dunia. Faktor ekonomi dan kekuasaan adalah biang kerok utama tragedi ini.
Pasca Perang Dunia, umat manusia termasuk kita di Indonesia menyaksikan badai kekersan, ketidak adilan, dan kezhaliman yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama, karena ia dilakukan oleh kelompok komunis yang anti agama. Di Indonesia semua itu terus berlangsung hingga kegagalan kudeta PKI pada 30 September 1962. Sedangkan di dunia secara umum, ulah kaum komunis berakhir dengan runtuhnya negara Uni Soviet..
Agama dan Kekerasan, Ketidak Adilan, Kezhliman Di Indonesia
Karena yang akan kita bahas adalah permsalahan negri ini, maka setelah menguraikan secara umum mencakup seluruh dunia di atas, kami mengerucutkannya ke Indonesia. Di indonesia kekerasan, ketidak adilan, dan kezhaliman hampir selalu membawa-bawa agama. Karena Islam adalah agama mayoritas, maka jadilah Islam menjadi agama yang paling sering dijadikan kambing hitam, terlebih lagi jika kasusnya adalah terorisme.
Namun sama halnya dengan fenomena global sepanjang sejarah yang telah kami sampaikan tadi, di Indonesiapun agama tidak pernah menjadi faktor satu-satunya.Selalu ada faktor lain seperti politik, ekonomi, selain agama.Pada tindakan-tindakan yang secara eksplisit mengatas namakan agama sekalipun selalu ada faktor lain. Pada konflik horizontal antara pemeluk agama seperti di Ambon dan Poso misalnya, menurut analisa Jusuf Kalla bunga api konflik bukanlah masalah agama[5]. Menurut beliau, konflik itu terjadi karena adanya masalah struktural ekonomis-polotis yang prosesnya lama bagaikan bom waktu. Di ambon misalnya, slogan awal para pembantai adalah “habisi BBM, Bugis, Buton, dan Makassar”, sangat jelas semangat kesukuan yang dipicu motifasi ekonomi terlihat di sini.
Penduduk asli Ambon beragama Nasrani yang kebanyakan tuan tanah dan juragan cengkeh merasa iri dengan perkembangan ekonomi signifikan yang dialami oleh penduduk Muslim baik yang asli maupun yang pendatang. Muslim Ambon cendenrung lebih memperhatikan pendidikan, sehingga ketika para tuan tanah dan juragan cengkeh berjaya pada masa Soeharto, mereka malah mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke luar Ambon. Ketika Soeharto lengser yang Nasrani gigit jari, sedangkan anak-anak Muslim yang berpendidikan telah menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Rasa iri kemudian menyulut konflik. Meskipun pada akhirnya, spirit keagamaan menjadi sangat terasa. Terlebih ketika ummat Islam yang tidak rela saudara mereka dibantai mengirimkan milisi-milisi Jihad, lalu Nasrani yang tidak mau kalah juga mengirimkan milisi-milisi Kelelawar Hitam.
Begitu juga pada kasus Poso, menurut JK, semuanya berawal dari perubahan komosisi kependudukan di Poso. Poso yang awalnya sangat mayoritas Nasrani perlahan tapi pasti penduduk Muslimnya bertambah. Hal ini adalah akibat dari pembangunan infrastruktur transportsi darat yakni jalur trans Sulawesi. Pendatang muslim dari Sulsel dan Tenggara bekerja lebih giat sehingga menjadi kelas menengah baru di tengah-tengah komunjitasa Nasrani. Akhirnya semuanya berdampak pada percaturan politik, wakil Nasrani yang kalah dalam pencalonan bupati yakni Lateka menjadi pemimpin laskar Kelelawar Hitam yang membantai desa Tentena dan Pesantren Wali Songo. Namun sama halnya dengan Ambon, akhirnya agama terbawa karena yang berkonfrontasi memang seolah terbagi menjadi kubu Nasrani dan Muslim. Maka Jihad harus ditegakkan ketika kita diperangi, ummat Nasrani juga menjadikan doktrin Crusader sebagai alat mobilisasi pasukan.
Kasus lain seperti aksi-aksi terorisme, juga tidaklah murni karena agama. selalu ada faktor lain. Entah itu ekonomi, politik, ataupun psikologis para pelakunya.
Hubungan Agama dengan Kekerasan, ketidak adilan serta Kezhaliman
Dari uraian di atas kami berkesimpulan bahwa baik dalam skala global maupun lokal, agama memang selalu dibawa-bawa pada kekerasan, ketidak adilan maupun kezhaliman. Namun bukan berarti agama adalah pemicu semua itu, asumsi semacam ini sangat keliru dan terburu-buru. Menurut kami setidaknya ada empat pola relasi antara agama dengan hal-hal tadi.
1. Yang bermotif lain namun memakai kedok agama.
Fenomena ajaran-ajaran sesat yang memungut uang dari pengikutnya semacam NII juga termsuk dalam hal ini.
2. Yang memang memiliki spirit keagamaan tapi tidak terlepas dari faktor-faktor luar.
Konflik Ambon dan Poso seperti telah kami singgung tadi adalah contohnya. Aksi terorisme atas nama agama juga bisa dimasukkan kategori ini. Amrozi CS misalnya, mereka meledakkan tempat-tempat maksiat orang asing di Bali jelas atas spirit agama. Jika membaca puisi Imam Samudra, kita akan mengerti mengapa ia rela menjadi “martir”. Demi anak-anak Afganistan yang melambai minta tolong tanpa tangna, anak-anak Irak yang dibenturkan ke tembok. Muslimah-muslimah Palestina yang dinodai, Al-Aqsa yang ditawan Zionis.
Ketidak adilan global, standar ganda Amerika yang pongah dan keras kepala, infasi mereka demi minyak ke negara-negara muslim adalah akar masalahnya. Maka ekonomi (minyak) dan politik global turut mempengaruhi terorisme nasional[6].
3. Yang bersumber dari penafsiran keliru atas teks-teks keagamaan.
Jenis yang ini juga ada. Mereka yang menafsirkan Jihad dengan qital semata, atau mereka yang dengan mudahnya mengkafirkan orang lain sangat rentan jatuh ke dalam jurang terorisme.
Begitu juga kelompok atau perorangan yang dengan terburu-buru mencap negara sebagai thogut, akan melakukan kekrasan atas nama agama. sebagian kasus terorisme atau KDRT bersumber dari masalah ini
4. “Kekerasan” yang memang diperintahkan agama
Kami tidak terlalu faham dengan agama lain, namun Islam adalah agama yang realistis. Islam tidak mengajarkan untuk diam saja ketika diberondong peluru sebagaimana para biksu Tibet yang tewas dibntai pasukan RRC. Dalam Islam, kita diizinkan untuk berperang jika kita dizhalimi.
Mengapa Agama?
Seperti telah berulang kali kami sampaikan bahwa agama bukanlah motif satu-satunya pada semua kejahatan tadi. Namun mengapa agama juga diikutkan sebagai kambing hitam?. Kami memiliki beberapa kesimpulan
1. Agama difitnah.
Khusus agama Islam, ia memang sering menjadi sasaran pemberitaan kurang berimbang dari media-media Barat. Media Barat masih sangat dipengaruhi oleh semangat Orientalis yang berusaha menggambarkan dunia timur secara umum dan Islam khususnya sebagai sebuah ancaman besar bagi peradaban Barat[7].
Menurut Edward Said yang dihadirkan media Barat tentang Islam bukanlah realita sebenarnya bahwa Arab-muslim telah memasuki kesadaran dan modernism tapi malah karikatur esensial yang dihadirkan sedemikian rupa untuk menjadikan dunia rentan terhadap agresi militer.[8] Semua itu tidak lepas dari kepentingan mereka sendiri di kawasan Timur Tengah.
2. Kurangnya ilmu agama
Ilmu agama yang minim menyebabkan seseorang sangat rentan terjatuh pada kesesatan. Kesesatan dalam beragama pada gilirannya akan melahirkan kekerasan, ketidak adilan dan kezhaliman yang sadar atau tidak sadar ia lakukan atas nama agama.
3. Fanatisme yang ditunggangi orang jahat
Bersikap fanatik dalam beragama sebenarnya tidaklah berbahaya selama ia diimbangi oleh sikap bijaksana dan toleransi. Orang fanatik buta akan sangat mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjadi alat mereka. Sedangkan orang fanatik tadi tidak sadar, ia malah merasa tengah menjalankan ajaran agama.
4. Agama adalah spirit perjuangan yang dahsyat
Orang-orang yang ditindas dan diperlakukan tidak adil, akan melirik pada agama sebagai spirit pembebasan. Mereka lalu menjadikan agama sebagai motor utama mesin perjuangan mereka. Kadang oleh orang lain itu dianggap ekstrimisme, tapi bagi sebagian yang lain itu adalah patriotisme religius. Gerakan gerilya di Amerika Latin yang berspirit Kristen ataupun perjuangan faksi Hamas, Revolusi Iran, konflik Kashmir di dunia timur yang berspirit Islam adalah contohnya.
5. Agama adalah tameng yang sempurna karena kesakralannya
Masyarakat khususnya di Indonesia masih sangat terikat oleh sakralitas. Ada hal-hal yang tabu, ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan. Sehingga mereka yang bersembunyi di balik tameng agama akan merasa aman. Maka para penjahat kemudian melihat agama sebagai tempat sembunyi yang sempurna.
Wallahu ‘alam bishshawab
Daftar Bacaan
Armstrong, Karen, Perang Suci, Jakarta : Serambi, 2011.
Chomsky, Naom, Power And Terror ; Perbincangan Pasca Tragedy WTC 11 September 2001 Menguak Terorisme Amerika Serikat Di Dunia,, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Lewis, Bernard, Kemelut Peradaban Kristen Islam Dan Yahudi, Yogyakarta : Ircisod, 2001.
Said, W. Edward, Covering Islam ; Bias Liputan Barat Atas Dunia Islam, Yogyakarta : Ikon Teralitera, 2002.
Johanis, “Bunga Api Konflik Ambon Menurut JK” http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=11861,0;wap2. Diakses 11/10/2011
Kelompok 1:
1. Ayub
2. Miftah Farid
3. Firman Budi Satria
4. Difta Iqbal Fatrhoni
[2] Karen Armstrong, Holy War : The Crusades and Their Impact on Today’s World diterjemahkan oleh Hikmat Darmawan dengan judul Perang Suci (Serambi, Jakarta, 2011)
[3] Bernard Lewis, Cultures in Conflict ; Cristian, Muslim and Jews diterjemahkan oleh Prismashopie dengan judul Kemelut Peradaban Kristen, Islam dan Yahudi.( Ircisod, Yogyakarta. 2001), hal. 15.
[5] Johanis, “Bunga Api Konflik Ambon Menurut JK” http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=11861,0;wap2. Diakses 11/10/2011.
[6] Lihat penjelasan Naom Chomsky tentang bagaiman kebijakan AS di dunia Islam menimbulkan reaksi balik bnerupa tindakan terror di buku Power And Terror ; Menguak Terorisme Amerika Serikat di Dunia, Ikon Tera Litera, Yogyakarta, 2003.
[7] Penjelasan panjang lebar tentang ini dapat dilihat dalam karya monumental Edward W. Said berjudul Orientalism yang telah diterjemahkan dengan judul sama.
[8] Edward W. Said,Covering Islam ; How The Media And The Expert Determine How We See The Rest Of The World diterjemahkan oleh A. Asnawi dan Supriyanto Abdullah dengan judul Covering Islam : Bias Liputan Barat Atas Dunia Islam,( Ikon Tera Litera, Yogyakarta, 2002), hal.35
1 komentar:
hemm....boleh juga
Posting Komentar